Dewasa ini pernikahan di usia muda atau biasa di sebut pernikahan dini menjadi tren di kalangan remaja. Secara nasional menurut Kementerian PPN/Bappenas hal ini terjadi di semua kelompok agama, status sosial ekonomi, dan lokasi tempat tinggal. Pernikahan di usia muda atau pernikahan dini di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung cukup tinggi walaupun mengalami penurunan pada setiap tahunnya, namun Provinsi Kepulauan Bangka Belitung masih menduduki urutan ke-5 besar nasional. Menurut Badan Pusat Statistik Indonesia, angka pernikahan dini pada tahun 2018 di Babel 14,22 persen dan Bangka Belitung berada pada urutan 8 dari 34 Provinsi. Pada tahun 2019 naik di angka 15,48 persen dengan urutan 11 dari 34 Provinsi. Sedangkan pada tahun 2020 angka pernikahan dini mengalami kenaikan cukup tinggi yaitu 18,78 persen dan menduduki urutan 1 dari 34 Provinsi. Kemudian pada tahun 2021 mengalami penurunan diangka 14,05 persen.
Beberapa faktor utama tingginya angka pernikahan di usia muda atau pernikahan dini ini disebabkan oleh rendahnya tingkat ekonomi, dan pengaulan bebas yang diikuti dengan hamil di luar nikah. Baru-baru ini satuan polisi pamong praja di salah satu Kabupaten di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mengamankan beberapa muda mudi, di antaranya terdapat anak di bawah umur yang melakukan pesta seks dan minuman keras di salah satu hotel. Pernikahan di usia muda atau pernikahan dini juga sebagai penyumbang terbesar terhadap angka perceraian dan stunting di Provinsi ini serta berdampak banyaknya para remaja menderita mental disorder depresi. Selain itu hal ini juga berdampak pada sosial ekonomi di mana perempuan yang menikah saat berumur kurang dari 18 tahun berkesempatan 4 kali lebih kecil dalam menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Menengah Atas (SMA) dibandingkan dengan menikah 18 tahun ke atas. Menurut data yang terhimpun 44,9 persen paling banyak hanya menyelesaikan pendidikan SMP/Sederajat. Perempuan yang menikah sebelum 18 tahun hampir 2 kali lebih banyak bekerja di pertanian atau perkebunan dibanding yang menikah di atas 18 tahun. Berdasarkan data Kementerian PPN/Bappenas, tingkat kematian ibu yang disebabkan mengalami komplikasi akibat kehamilan dan melahirkan, penyumbang angka kedua terbesar berasal dari anak perempuan dengan rentang usia 15-19 tahun. Dampak selanjutnya ibu yang melahirkan muda juga rentan mengalami kerusakan reproduksi.
Pada tahun 2022 lalu, pemerintah melalui BKKBN telah membuat suatu program untuk menekan angka pernikahan anak di usia muda yaitu pendewasaan usia perkawinan (PUP). Menurut Undang-Undang terdahulu Nomor 1 Tahun 1974 usia perkawinan untuk laki-laki berusia 19 tahun dan perempuannya berusia 16 tahun. Sedangkan menurut Undang-Undang terbaru nomor 16 tahun 2019 menjelaskan bahwa usia yang diizinkan untuk menikah bagi laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun. Merujuk kepada Undang-Undang tersebut BKKBN merekomendasikan untuk usia pernikahan minimal 25 tahun dan perempuan minimal 21 tahun. Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) ini merupakan upaya untuk meningkatkan usia nikah pertama sehingga mencapai usia minimal di atas. Alasannya adalah karena umur 25 dan 21 tahun ini dianggap sudah matang dan siap untuk berumah tangga. Dengan adanya program ini diharapkan para generasi muda memiliki kesiapan usia, kesiapan fisik, kesiapan mental, kesiapan finansial, kesiapan moral, kesiapan emosi, kesiapan sosial, kesiapan interpersonal, keterampilan hidup, dan kesiapan intelektual. Program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) ini merupakan solusi dan harus dikampanyekan baik kepada orang tua maupun pendidik dan para remaja secara luas.
Optimalisasi Peran Orang Tua
Optimalisasi peran dalam mengentaskan atau menekan angka pernikahan di usia muda merupakan kewajiban bersama. Tingginya angka pernikahan di usia muda atau pernikahan dini yang telah dijelaskan terdahulu tidak terlepas dari optimalisasi orang tua dalam menjalankan perannya. Kita pahami bersama bahwa orang tua adalah orang yang paling dekat dan tentunya memahami tumbuh kembang anak. Orang tua juga merupakan pendidik utama dan pertama, sehingga orang tua harus bertanggungjawab penuh terhadap tumbuh kembang anak, termasuk memberikan perhatian ekstra terhadap anak pada masa perkembangnya.
Tanggungjawab orang tua harus menyeluruh baik secara fisik dan psikis. Upaya berkesinambungan yang wajib dilakukan oleh orang tua adalah mempelajari dan mengenal fase-fase yang akan dilewati anak mulai dari anak usia dini sampai pada anak menjadi remaja-dewasa awal. Menurut beberapa ahli ada beberapa fase yaitu fase di usia dini (0-6 tahun), fase anak-anak (7-10 tahun), dan fase remaja (11-14 tahun). Pada fase usia dini ini anak mulai banyak bertanya dan ingin tau tentang banyak hal. Dengan demikian orang tua harus menjadi pendidik yang sabar dalam menghadapi anak dengan memberikan jawaban-jawaban yang dapat dipahami oleh anak.
Pada fase anak-anak, biasanya anak mulai mengerti tentang perbedaan dan mulai berkembangnya kemampuan beradabtasi dengan lingkungan sosialnya. Pada fase ini anak sudah mulai sering membandingkan dan menjawab apa yang orang tua bicarakan, dan biasanya anak cenderung ngotot. Untuk menyeimbangkan perilaku ini, orang tua harus mampu membangun hubungan yang baik terhadap anak melalui pemberian kasih sayang, penerimaan, penghargaan, pengakuan, dan arahan kepada anaknya. Dalam sebuah penelitian menjelaskan bahwa hubungan orang tua dan anak yang hangat, terbuka dan komunikatif seperti memberikan batasan yang wajar, menyampaikan hal-hal yang terkait yang tidak boleh dilakukan oleh anak akan meningkatkan kepercayaan diri dan performa sang anak. Selain itu anak juga akan terhindar dari perilaku-perilaku negatif. Orang tua juga dapat mengajarkan anak untuk mengenal budaya dalam keluarga, tradisi, dan nilai-nilai yang dianut dalam keluarga. Hal ini akan mempengaruhi tumbuh kembang anak dan menghindari anak dari perilaku yang menyimpang.
Pada fase remaja atau dewasa muda, anak sudah mulai berubah baik secara fisik, kognitif dan juga sosial. Anak mulai memiliki otonomi artinya anak tidak mau lagi bergantung kepada orang tua atau cenderung ingin melepaskan diri dari kedua orang tua. Untuk menanggulangi ini tentunya orang tua harus dapat menyeimbangkan dan mempertahankan hubungan anak dengan keluarga. Komunikasi dalam hal ini sangat penting dilakukan oleh anak dan membangkitkan kepercayaan sang anak. Penelitian menyebutkan bahwa orang tua yang tetap menjalin serta mempertahankan komunikasi yang baik dengan anak akan lebih baik dalam sosialnya dan anak tidak melakukan hal-hal yang negatif, ketimbang orang tua yang tidak menjaga komunikasi pada masa remaja sampai dewasa muda.
Orang tua juga harus memberikan pemahaman kepada anak tentang bagaimana bergaul dengan lingkungannya. Di samping itu yang tak kalah pentingnya orang tua harus memberikan keteladanan kepada anak, karena bagaimanapun keteladanan adalah sekolah terbaik bagi anak. Selanjutnya orang tua juga wajib update informasi terkait persoalan-persoalan remaja saat ini termasuk informasi tentang pernikahan di usia muda, faktor penyebabnya dan cara menanggulanginya. Orang tua dapat menekankan kepada anak bagaimana menempuh pendidikan untuk masa depannya. Anak juga perlu diberikan pemahaman tentang usia yang matang bagi anak untuk melangsungkan pernikahan dan tanggungjawab apa saja yang harus dimiliki anak agar mampu membina mahligai rumah tangga nantinya.
Membiarkan sang anak tumbuh sendiri bersama lingkungan sosialnya, tanpa mengoptimalisasi pengawasan, maka akan menyebabkan munculnya berbagai bentuk perilaku negatif. Dengan demikian optimalisasi peran orang tua dalam mendidik tentunya akan dapat membangun generasi muda yang memiliki harkat dan martabat yang tinggi karena generasi muda merupakan aset daerah atau agen perubahan dalam membangun sebuah peradaban.
- 3959 reads